Aktivis? Sebuah panggilan yang sebenarnya tak perlu
dibesar-besarkan, dan seharusnya memang tak perlu dibangga-banggakan. Namun
entah kenapa sebagian orang menganggap dengan menyandang gelar ‘aktivis’ mereka
merasa diri mereka keren, setidaknya begitu pandangan umumnya.
Sampai-sampai mungkin orang terlupa dengan niat awalnya,
sehingga akhirnya hanya sekedar menjadi orang yang aktif di berbagai organisasi,
sekedar pengen mewujudkan obsesinya jadi seorang aktivis, tanpa mengingat
tujuan dan niat yang sebenarnya. Coba kita ingat, sebenarnya apa sih tujuan
awal kita ikut aktif dalam berbagai organisasi??? Mau cari pengalaman? Biar
eksis? Biar dikenal? Biar banyak teman? Biar gaul? atau mungkin, Biar keren?
Hah, lupakan itu.
Memangnya siapa sih yang memberi gelar aktivis itu???
Sepertinya itu hanya pandangan dan pemikiran orang terhadap suatu kelompok atau
kepada seseorang yang dia bergabung dalam organisasi. Dan mungkin sebagian lagi
memandang aktivis adalah orang yang dia giat ikut kegiatan ini itu hingga
hari-harinya begitu padat, sampai tiada hari tanpa pulang malam.
Berbicara tentang ‘AKTIVIS’ saya jadi terpikir tentang
pembicaraan temen-temen beberapa waktu yang lalu. Mereka mengomentari tentang
sebuah tulisan yang katanya berjudul “Kata Orang Anakku Aktivis”. Yang mana
tulisan tersebut pada intinya membahas mengenai keluhan seorang ibu yang
anaknya menjadi aktivis hingga hari-harinya selalu dihabiskan di luar rumah,
sampai-sampai sang Ibu tidak merasakan kehadiran buah hatinya.
Emmm, komentar saya “kok bisa?”
“iya kenapa kok bisa sampai seorang ibu merasakan hal
seperti itu. Kenapa bisa ibu mengetahui bahwa anaknya adalah seorang aktivis
dari orang lain? Kok bisa sampai ibu merasa begitu menderita karena anaknya tak
pernah hadir di hari-harinya?”
Yang namanya aktivis. Entah dengan definisi yang seperti apa
pun itu, harusnya ia telah berpikir secara bijaksana ketika memilih pilihan untuk
menjadi seseorang dengan kegiatan seabrek. Apalagi yang menyebut dirinya aktivis
dakwah, duh sangat disayangkan jika hal tersebut sampai terjadi.
Pertanyaannya, sudahkah kita berbicara dengan ibu dari hati
ke hati? Sudahkah kita meminta izin dan doa restu kepada ibu? Sudahkah kita
memenuhi hak-hak beliau?
Jika itu sudah, tentu takkan ada kasus seperti itu.
Sebenarnya apa sih tujuanmu menjadi aktivis? Selain mencari
pengalaman, tambah temen. Yang harusnya menjadi tujuan utama adalah kita ingin
menjadi orang yang bermanfaat bagi orang lain. Yaa itulah tujuan hakiki kita,
maka sampaikanlah kepada orangtuamu, kepada ibu yang menyayangimu.
Saya pernah berkisah di tulisan “Dapatkan juga Ikannya” yang terdahulu,
tentang kerelaan ibu membiarkan sang anak aktif di jalan dakwah.

Sampaikanlah, dan jelaskan secara jelas apa yang ingin kau
perjuangkan dan ingin kau wujudkan, hingga ibu berkata kepadamu, “iya nak...
ibu ridho kamu berjuang. Ibu restui langkah dan perjuanganmu. Dan ibu doakan
kesuksesanmu”
Subhanallah, sosok mulia itu takkan mungkin menolak jika
niat kita benar dan lurus. Dia akan begitu tulus mendoakan setiap perjuangan
kita jika kita mampu menyampaikan niat baik itu dengan cara yang baik pula.
Kemudian setelah dengan ikhlasnya ibu memberikan ridhonya
untuk kita, sudah selayaknya itu kita pergunakan dengan sebaik-baiknya.
Pertanyaannya sudahkah kita amanah dengan apa yang kita emban saat ini?
Ketika ibu telah merelakan beberapa hal darimu, sudahkah
kita benar-benar mempergunakan kesempatan dengan sebaik-baiknya? Sudahkan kita
memberikan kontribusi maksimal kita di jalan ini? Yaa... itu yang perlu dievaluasi,
maka selalu luruskan niat kita.
Dan satu hal lagi yang harusnya tidak pernah luput dari diri
kita. Kita harus tetap memenuhi hak-hak
kedua orangtua kita. Seperti yang pernah saya tulis di “Aktivis Yes, Keluarga
Oke”
Sesibuk-sibuk apapun kita, secapek-capek apapun kita,
berikanlah hak-hak kedua orangtua kita, yang itu adalah menjadi kewajiban bagi
diri kita. Tak pernah lupa mendoakannya, senantiasa membantu pekerjaan rumah
secapek apapun kondisi kita. Jika kita pulang larut, ya kita harus rela menunaikan
semua itu sebelum kita lelap tidur. Ketika pagi hari kita harus berangkat pagi-pagi,
maka kita juga harus rela bangun jauh lebih awal agar tetap bisa menjalankan
kewajiban kita pada orangtua. Jangan biarkan hak-hak itu tak tersampaikan hanya
karena kita pulang larut malam, atau kita harus pergi pagi-pagi. Dalam kondisi
apapun harusnya hak-hak itu tetap mereka peroleh.
Kerelaan orangtua untuk tidak punya waktu banyak dengan
anaknya dan kerelaan-kerelaan lainnya, harus sanggup kita ganti dengan kerelaan-kerelaan
yang harus kita alami. Kita sama-sama saling memahami, saling merelakan.... yaa
semua terjadi ketika masing-masing telah saling tahu. Dan tidak akan ada
keluhan orangtua jika dalam kesibukan kita tetap masih mampu memberikan hak-hak
bagi mereka. Tetap berikan senyum untuk mereka, berikan rasa hormat kita dan
rasa sayang kita kepada mereka, meski hanya dengan sekecil apapun perbuatan,
sungguh akan sangat besar maknanya bagi mereka.
Kalau ada yang berkata, CAPEK !!!
Ya memang capek, tapi itulah resiko yang harus kita tanggung
dari pilihan yang sudah dari awal kita pilih. Kita tentu sudah mampu berpikir dewasa
untuk kemudian memilih ikut aktif di berbagai organisasi. Kita memutuskan untuk
aktif di A, B, C, dan D berarti kita harus konsekuen, harus mampu membagi
waktu, mampu membagi peran hingga dari kesekian itu tak ada pihak-pihak yang
terdzolimi. Jika dengan banyaknya hal itu ternyata kita kewalahan, maka harus
ada yang dievaluasi. Jangan sampai kita tidak amanah dengan apa yang telah kita
pilih sendiri.
Dan intinya adalah
- Selalu...selalu..dan selalu komunikasikan dengan cara yang baik.
- Selalu meminta ridho orangtua, ridhollah fii ridhowalidain ya karena ridho Allah ada pada ridho orangtua. Ketika orangtua kita telah meridhoi maka Allahpun meridhoi. Begitupun sebaliknya. Dan ridho itu tidak datang dengan sendirinya, namun harus diperjuangkan. Jika orangtua belum ridho maka perjuangkan dengan terus mengkomunikasikan secara baik.
- Tetap berikan hak-hak orangtua kita.
- Selalu evaluasi diri dengan amanah yang kita emban, dan selalu ingat bahwa diri kita ini bukan hanya menjadi hak milik kita sendiri, namun menjadi hak milik bagi orang lain di sekitar kita. Ada orangtua, saudara, tetangga, teman dan handai taulan lainnya yang harus tetap kita berikan perhatian, sehingga dalam evaluasi hal-hal tersebut dapat dijadikan bahan pertimbangan. Upayakan agar hak-hak mereka tetap dapat mereka peroleh.
Apapun sebutannya, entah aktivis atau apapun orang mau
menyebutnya, selalu luruskan niat hanya untuk-Nya dan hanya karena-Nya. Bagaimanapun juga, naluri seorang ibu akan tetap ada sampai kapanpun, dan bagaimanapun kondisinya. Naluri untuk terus menyayangi, mengkhawatirkan dan naluri untuk selalu dekat dengan sang buah hati, lalu semua tergantung bagaimana kita mengkomunikasikan dan mengkondisikannya. Sehingga naluri yang ada akan beriringan dengan ridho tulus darinya untuk kita.
Yang jelas, pastikan
ibu ridho dengan apa yang kita lakukan. Jangan biarkan ibu tahu aktivisan
kita dari oranglain, namun kita sendirilah yang sedari awal harusnya berbagi
dan menjelaskan secara bijak apa dan bagaimana aktivitas kita di luar rumah, hingga beliaupun
memahami dan mampu mengerti, “Iya nak....Ibu Ridho kamu jadi aktivis”
***Tulisan ini tak lebih hanya sedang mengingatkan diri ini
sendiri agar senantiasa bermuhasabah atas setiap proses yang telah dijalani.
Semoga Allah mengetuk hati-hati yang lalai ini agar kembali tersadar dan ingat,
dan Smoga Engkau tak jemu untuk terus
mengingatkan disaat niat mulai tak lurus.
0 komentar:
Posting Komentar